Memasyarakatkan Energi Baru Terbarukan untuk Energi yang Berkeadilan
December 22, 2022
“Kita ingin rakyat-rakyat Indonesia yang berada di pinggiran, di kawasan perbatasan, di pulau-pulau terdepan, di kawasan terisolir merasakan hadirnya negara, merasakan buah pembangunan, dan merasa bangga menjadi Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Kelebihan tidak selalu menjadi membuat kita semakin kuat, tetapi terkadang dapat menjadi kekurangan dalam diri kita. Begitu pula Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta penduduk merupakan potensi hebat bangsa ini yang justru dapat melemahkan diri sendiri.
Tulisan di atas merupakan secuplik transkrip pidato Presiden Joko Widodo pada sidang tahunan MPR RI tanggal 16 Agustus 2017. Melalui pidato tersebut dapat dibuktikan bahwa rakyat Indonesia yang berada di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) masih belum menikmati pelayanan-pelayanan yang setara dengan kota-kota besar di Indonesia. Seperti pendistribusian energi listrik yang merata menjadi tantangan sulit bagi Indonesia yang menjadi negara kepulauan terbesar. Begitu juga dengan jumlah limbah yang dihasilkan oleh 250 juta penduduk bisa pula menjadikan Indonesia negara dengan negara penghasil sampah makanan terbesar ke-2 di dunia.
Disclaimer:
Ditulisan kali ini saya menuangkan hasil pembelajaran saya selama di Think Policy Workshop: Youth for SDGs 2022.
My graduation at Think Policy Program and my team achived the "Best Capstone Project"
Akses energi merupakan salah satu tantangan yang masih dihadapi pada masa kini, khususnya bagi individu dan masyarakat di negara-negara berkembang. Sebagaimana tertuang pada tujuan ke-7 Sustainable Development Goals (SDGs) ialah menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua. Keberhasilan mencapai goal tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor antropogenik yang dikategorikan ke dalam dua dimensi, yakni dimensi kultural (berkaitan dengan cara pandang, etika, ataupun perilaku manusia) dan dimensi struktural (berkaitan dengan kebijakan dan proses pengambilan keputusan oleh pemerintah baik di tingkat desa, kabupaten/kota, maupun pusat).
Landasan Hukum tentang Peranan serta Pengelolaan Energi
Dalam skala nasional, Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa sumber daya energi dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kesadaran akan pentingnya peranan energi diperkuat dengan adanya Undang-Undang No.30 Tahun 2007 tentang Energi yang menjadi dasar terbentuknya Dewan Energi Nasional. Dilanjutkan dengan adanya PP No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, dan Perpres No. 41 Tahun 2016 tentang Krisis Darurat Energi.
Secara garis besar langkah-langkah tersebut bisa dimaknai sebagai perubahan paradigma pemanfaatan energi yang semula untuk kepentingan devisa menjadi untuk modal pembangunan, mengingat peran energi penting artinya untuk peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. Sehingga pengelolaannya yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Tentunya, dalam konteks pemerataan pembangunan, penting untuk mewujudkan akses energi bagi semua lapisan masyarakat.
Menuju Energi yang Berkeadilan
Sejauh ini, jumlah rumah tangga yang mendapatkan akses listrik terus meningkat dari tahun 2013-2018. Kenaikan sebesar 14,5% dalam 5 tahun terakhir telah berhasil membuat 15.231.778 rumah tangga bisa mengakses listrik dalam 6 tahun terakhir.
Selain peningkatan rasio elektrifikasi, pemerintah juga terus berupaya menggenjot konsumsi listrik perkapita di Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk terus meningkatkan konsumsi penggunaan listrik yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan usaha kecil dan mikro.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, capaian konsumsi listrik pada 2019 baru sebesar 1,06 gWh per kapita. Sementara itu, target konsumsi listrik pada 2020 sebesar 1,14 gWh per kapita. Walaupun konsumsi listrik perkapita Indonesia telah meningkat dan mencapai 1,06 gWh, tetapi kondisi listrik perkapita Indonesia masih level bawah di ASEAN. Jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 4,46 gWh per kapita, konsumsi listrik Indonesia hanya setara dengan negara Vietnam.
Sumber: Kementerian ESDM (2019) by lokadata
Untuk dapat meningkatkan konsumsi listrik perkapita di Indonesia, maka ketersediaan listrik harus merata, terutama daerah-daerah terpencil. Selain itu, untuk dapat meningkatkan permintaan listrik, kegiatan ekonomi di wilayah yang termasuk dalam kategori terpencil harus digerakkan.
Jika dilihat dari rasio elektrifikasi yang telah mencapai 98,30 persen, seharusnya konsumsi listrik Indonesia dapat lebih tinggi. Akan tetapi beberapa wilayah yang belum terjangkau PLN memang menggunakan listrik sendiri seperti menggunakan genset atau pembangkit listrik cahaya matahari berskala kecil, sehingga penggunaan listriknya terbatas, tidak sampai 24 jam.
Membaca Realitas Potensi EBT di Indonesia
Berbagai potensi EBT yang melimpah di Indonesia tentunya dapat menjadi modal untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) nasional yang berkelanjutan. Dalam konteks mewujudkan pemerataan pembangunan, pemanfaatan potensi EBT sebagai solusi alternatif tentu juga dapat bertujuan untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil yang menghasilkan efek gas rumah kaca (GRK).
Sejauh ini, energi terbarukan sudah mulai digunakan di Indonesia walaupun tidak dalam jumlah yang besar. Energi terbarukan yang sudah mulai digunakan diantaranya geothermal, hydropower, biomassa, dan wind power pada pembangkit-pembangkit listrik. Dari tahun 2007 hingga tahun 2017 tercatat capaian penggunaan energi baru terbarukan berada pada kirasan 22 hingga 25 persen dengan penyumbang tersebar adalah biomassa. Pada tahun 2017 persentase EBT yang digunakan sebesar 22,62 persen. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 23,36 persen. (Kementerian LHK: 2018)
Melihat perkembangan energi yang sangat dibutuhkan dalam setiap kegiatan maka diperlukan sumber energi yang terjangkau dan ramah lingkungan. Oleh sebab itu, peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan perlu diupayakan. Energi terbarukan tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga tidak terbatas persediaannya dan merupakan sumber energi gratis sehingga dapat memecahkan masalah mengenai energi yang bersih dan terjangkau bagi semua.
Memasyarakatkan EBT; Membangun Kultur “Mandiri” dan “Berdaya” untuk Energi yang Berkeadilan
Mendekatkan masyarakat dengan SDA-nya tentu dapat menjadi solusi yang solutif dan implementatif. Kenyataan bahwa kekuatan terbesar ada pada tatanan masyarakat tentu perlu diamini dan diwujudkan dalam berbagai gerakan masyarakat. Dalam hal ini, tentunya perlu dukungan penuh dari pemerintah, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Banyak yang bisa dilakukan untuk mencapai target 23 persen bauran energi, 100 persen rasio elektrifikasi, dan peningkatan konsumsi listrik perkapita untuk bisa memaksimalkan potensi EBT yang kita miliki. Langkah persuasi misalnya kepada para akademisi khususnya untuk merangsang inovasi guna meningkatkan kemampuan mengolah potensi tersebut. Selanjutnya, dari segi pemangku kebijakan dengan mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung EBT, meningkatkan literasi energi dan mengedukasi masyarakat tentang keuntungan menggunakan EBT, dan memperkuat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam pengembangan EBT.
Dengan adanya kolaborasi lintas sektor diharapkan bisa menghadirkan inovasi teknologidipersembahkan untuk kemajuan teknologi pembangkit energi baru terbarukan yang bisa menjadi harapan baru terwujudnya kedaulatan energi di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) dengan membangkitkan energi di Indonesia
Catatan Penulis:
Saya memiliki mimpi untuk memiliki usaha sosial (Social Enterprise) yang bisa menciptakan energi baru terbarukan dari tenaga air. Saat ini tulisan ini menjadi langkah pertama untuk mimpi saya tersebut.